Rabu, 20 Januari 2010

apakah anda tahu tentang pacaran

rtikel ini merupakan lanjutan dari artikel kemarin yaitu mengenai apakah anda tahu tentang arti pacaran. Semoga artikel ini dapat membantu Anda, so selamat menyimak dan merenungkan langkah yang akan Anda lakukan esok.

Bapak memberikan saya dua pertanyaan ini:

1. Apa kau punya data lain (yang ilmiah) mengenai “definisi pacaran yang memang berlaku di masyarakat umum”?

2. Apakah kau punya data obyektif mengenai efek buruk istilah ini?

Jawabannya: Ya, saya punya.

Saya melakukan observasi berupa pengamatan lapangan dan survey yang dilakukan terhadap puluhan responden berusia 19-21 tahun. Tapi, sebelum saya memberikan hasil observasi saya, saya ingin berkomentar tentang satu hal dari tulisan “Ciuman: PR untuk penentang pacaran Islami”. Kita mulai dari hal yang paling mendasar: definisi. Sebenarnya, apa definisi “mendekati zina” yang Bapak maksudkan?. Masalahnya, jika kita ingin mengaitkan dengan apakah pacaran itu mendekati zina atau tidak, maka kita harus tahu hal-hal seperti apa yang disebut “mendekati zina”. Jika aktivitas-aktivitas yang mendekati zina hanya seperti ciuman dan persenggamaan, maka data yang Bapak berikan valid dan tidak bisa dibantah. Karena sejujurnya kita masih bisa berbangga terhadap kultur ketimuran yang cenderung santun yang masih cukup melekat dalam budaya kita, sehingga, ciuman dan seks bukanlah hal yang mudah dilakukan bagi sepasang sejoli yang belum terikat pernikahan. Nah, karena itu, saya mencoba menurunkan standar aktivitas “mendekati zina” itu beberapa tingkat. Salah satunya, yang saya anggap sebagai hal yang mendekati zina adalah berpegangan tangan. Menurut saya, berpegangan tangan termasuk perilaku yang mendekati zina. Banyak dalil yang menyebutkan bahwa pria dan wanita yang belum muhrim diharamkan bersentuhan. Saya melakukan survey terhadap puluhan muda-mudi yang pernah atau sedang menjalankan aktivitas pacaran dengan sebuah pertanyaan: Apakah Anda pernah berpegangan tangan dengan pacar Anda ketika Anda berpacaran. Hasilnya cukup mengejutkan: 100% menjawab pernah. Dan, seorang responden memberikan jawaban yang sangat konklusif: “Ya pernah lah, sering malah. Pegangan tangan itu bisa dikatakan hal yang wajib dalam pacaran, karena dengan begitu kita bisa ngerasain kenyamanan tersendiri.” Ini data pertama saya.

Lalu, yang kedua, saya melakukan uji dengan memberikan pertanyaan “apakah yang pertama kali terbesit di pikiran Anda ketika mendengar kata ‘pacaran’?”. Dan, lagi-lagi, hasilnya cukup baik sebagai data referensi saya. Sebanyak 50% responden menjawab bahwa istilah pacaran identik dengan hal-hal yang negatif, bahkan sangat negatif seperti pegangan tangan, berdua-duaan, cara pelampiasan nafsu, hingga ciuman dan zina. Sebanyak 28,13% responden memberikan jawaban yang cenderung negatif seperti nge-date bareng, seneng-seneng, eksotis dan sejenisnya. Lalu, hanya sebanyak 9,3% responden yang memberikan jawaban dengan tendensi positif seperti menyenangkan, asyik, dll. Dan hanya 12,5% responden yang memberikan respon positif seperti masa-masa ta’aruf, atau metode ta’aruf jaman sekarang.. Jika kita jumlahkan, maka responden yang memberikan persepsi negatif terhadap pacaran sejumlah 50% + 28,13% = 78, 13%, sedangkan yang positif hanya sejumlah 9,37% + 12,5% = 21,87%. Data-data di atas, beserta jawaban yang saya sisipkan sama sekali tidak dimanipulasi. Responden yang dipilih pun heterogen, tidak hanya yang “putih”, tapi juga yang “abangan” dengan komposisi yang seimbang. Ini data kedua saya.

Dua data ini saya berikan untuk membuktikan bahwa sebenarnya definisi pacaran yang berlaku di masyarakat adalah hal-hal yang memiliki konotasi negatif, dan tentunya memberikan dampak yang negatif. Semoga data ini bisa menjawab pertanyaan Bapak tadi.
Tapi, saya ingin mengingatkan, bahwa saya tidak ingin mengkonfrontasi ide pacaran islami yang Bapak angkat. Silahkan saja jika Bapak berpendapat demikian. Toh, Bapak menawarkan sebuah solusi yang metodis supaya orang-orang bisa terhindar dari pacaran dan masuk ke pernikahan, dan itu (hanya di bagian itu) sangat baik.

Saya hanya ingin mengkritik penggunaan istilah “pacaran” tadi. Yang saya angkat sejak kemarin, dan semoga jadi perhatian Bapak adalah: kekhawatiran saya atas persepsi parsial orang-orang yang membaca tulisan Bapak. Bapak adalah da’i dan penulis yang memiliki pengetahuan Islam yang sekiranya tidak perlu diragukan lagi. Dan tulisan-tulisan yang Bapak tulis, akan menjadi referensi paradigma bagi banyak orang. Bagus jika mereka mengambil hal-hal yang baik. Tapi, bagaimana jika mereka mengambil bagian-bagian yang buruk akibat dari pengambilan intisari secara parsial? Maka, tujuan Bapak yang menghindarkan mereka dari jurang pacaran jahiliyyah justru malah tidak tercapai dan akan terjadi yang sebaliknya. Mereka akan tambah kuat terjerumus di jurang pacaran jahiliyyah, karena mereka menemukan sebuah landasan kuat yang membuat mereka bisa berkata “Yeah, ada ustadz yang ngebolehin pacaran!”. (Dan seperti data yang saya ambil, istilah pacaran yang berlaku di masyarakat adalah hal-hal yang negatif).

Saya menuliskan ini dengan memandang subjektivitas saya sebagai pembaca. Hal pertama yang terlintas saat saya membaca tulisan Bapak adalah “Wah, kacau juga nih ada orang yang menghalalkan pacaran!”, walaupun selanjutnya mungkin sebagai orang yang mencoba terbuka saya menjadi sedikit maklum dengan alasan Bapak berpendapat demikian. Tetapi, saya sangat khawatir jika orang-orang “abangan” membaca dan tidak mendalami lebih lanjut, sehingga mereka bukannya mengambil kesimpulan “pacaran islami ternyata boleh”, malah “pacaran islami ternyata boleh”. Saya tahu bagaimana bagaimana pola pikir orang yang berpacaran, karena saya menjalani banyak waktu saya sebagai orang-orang seperti itu. Jadi, sekiranya Bapak bisa mempertimbangkan penggunaan istilah pacaran tersebut atau, setidaknya, dengan selalu memberikan penegasan yang benar-benar jelas apa itu pacaran yang Bapak maksudkan. Karena, menurut data saya tadi, definisi pacaran adalah hal-hal yang negatif. Dan terasa aneh rasanya jika Bapak membuat definisi pribadi dan mengembangkannya sebagai ide-ide umum, sedangkan orang lain masih menggunakan paradigma umum dalam mempersepsikannya. Jadi, dengan data-data di atas, sejujurnya saya kurang setuju atas tulisan bapak yang menyarankan orang untuk berpacaran.

Sebagai penutup, saya hanya ingin mengulang apa yang saya ucapkan pada komentar sebelumnya.

Sesungguhnya kita tahu bahwa manusia hanya mencoba berfikir sesuai dengan kapasitas intelektualnya, maka semoga Allah, sang pemilik segala intelektualitas tanpa batas, sang mahatahu atas apapun yang bahkan tersembunyi, mengampuni saya jika terdapat kesalahan dan kekurangajaran pada komentar ini. Semoga Allah menjauhi kita, saya, Anda, dan semua pembaca, dari segala macam prasangka..

0 komentar:

Posting Komentar

Love is...
© ♥♥♥ aLL About Love ♥♥♥ - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace